Al-Zajjâj (w. 311 H), ahli lughah dan tafsir, saat mengomentari kisah Musa dan Khidir alaihimassalaam berkata:
“Tidak pantas seseorang meninggalkan menuntut ilmu walaupun dia telah sampai pada akhir suatu ilmu” (Muhammad bin Ali as-Syaukani, Fath Al-Qadîr (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1414), Juz 3, h. 353.
Tidak mesti mengaji itu kepada yg lebih ‘alim. Hikmah dari ngaji salah satunya adalah membunuh kesombongan dan melatih ketawadhu’an. Nabi Musa dalam banyak sisi jauh lebih ‘alim daripada Nabi Khidhr, namun beliau susah payah menempuh perjalanan jauh dan melelahkan untuk belajar kepada Khidr.
Imam as-Syafi’i tidak segan-segan duduk seperti murid di depan Syaiban, yang lebih dikenal sebagai seorang penggembala kambing, sehingga sebutannya adalah Syaiban ar-Râ’iy (Syaiban si Penggembala) bukan Ustadz Syaiban, atau Kyai Haji Syaiban, atau Syaikh Syaiban, lalu Imam as-Syafi’i menanyakan banyak hal kepadanya karena melihat banyaknya keutamaan dari Syaiban.
Imam Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in tak segan belajar kepada Ma’ruf al Karkhi, Imam Ahmad juga merekomendasikan untuk belajar waro’ dan zuhud kepada Bisyri al-Hafi. Padahal dari sisi keilmuan, kita tahu Imam Ahmad tentu lebih alim, hanya saja beliau merasa ada sisi-sisi, dalam hal ini zuhud dan waro’, yang Bisyri lebih mampu mengaplikasikan ilmunya dibandingkan beliau.
Kesombongan, menyepelekan orang lain, mencela kesalahan-kesalahan tak sengaja dari orang lain itu bisa jadi muncul ketika seseorang lebih dominan ‘di ustadz’ kan, di ‘doktor’ kan, di ‘professor’ kan sehingga lupa memandang kelebihan orang lain, yang terlihat hanya kelebihan diri sendiri. Ini penyakit! (taufikNT)
Ikuti Kaffah Media di Telegram
Dapatkan artikel dakwah, kajian, dan berita Islami terbaru langsung di ponsel Anda.
Gabung ke Kanal Kami
✦ Kaffah Media — Wawasan, Dakwah, Kajian, dan Berita Islami ✦